Bunda, tak menemaniku di hari pernikahan

Ada banyak cinta tertuang dalam setiap tindakan Ibu kita, setiap perkataan yang terkadang terasa menyakitkan kita tanpa sadar sebenarnya itu adalah sebuah wujud dari kasih sayangnya yang luar biasa. Tiada maksud lain, selain keinginannya agar kita mendapatkan kebahagiaan.

Dulu, saya selalu berpikiran kalau Bunda itu cerewet sekali, suka melarang-larang saya melakukan ini dan itu, apalagi alasannya itu selalu punya alasan, dan apapun yang dia takutkan kalau saya langgar pasti terjadi. Saya merasa kalau saya benci padanya. Hingga, usia saya terus beranjak dan saya banyak belajar tentang kehidupan saat memutuskan diri untuk merantau dari sana saya menyadari bahwa “bawelnya” Bunda itu membawa kebaikan sehingga saya bisa tumbuh menjadi saya sekarang. Maafin, anakmu ya Bunda yang kurang menyadari betapa besar pengorbanan demi pengorbanan yang sudah engkau lakukan selama ini.

Bulan February 2013, menjadi awal sebuah kisah yang membuat saya semakin merasakan betapa besarnya pengorbanan seorang Ibu  terhadap anaknya. Saat itu, tepat satu minggu sebelum saya menikah Ibu saya harus melakukan operasi pengangkatan rahim karena beliau di vonis menginap kanker ganas dan yang membuat hati saya hancur adalah saya tidak diberitahunya dengan alasan takut saya ikutan sakit karena saya kepikiran beliau terus menerus. Bunda, tidak memikirkan dirinya bahkan dalam keadaan seperti itu. Saya masih melakukan activitas seperti biasa di Bali walaupun hati tidak tenang, tapi semua keluarga di rumah meyakinkan kalau semua baik-baik saja.

Hingga 4 hari sebelum hari H pernikahan tiba, saya pulang ke Jawa. Saya pulang dengan biasa dan memasuki rumah dengan hati ragu, kemana Bunda? biasanya beliau yang menyongsong dan menyambut saya di pintu sebelah saat saya turun dari mobil tapi ini kenapa nenek sama kakak lelaki saya yang langsung mengantar saya ke kamar dan menyuruh istirahat? Saat saya tanya pun kakak saya mengatakan kalau Bunda sedang kontrol, diantarkan oleh Om. Tapi, tetap ada yang janggal, kamar Bunda kosong, kasurnya tidak ada sprei, mana bisa begitu. Kakak saya tidak banyak bicara dan hanya menyuruh saya istirahat dan mengatakan akan mengajak saya ke RS agak sorean.

Mana mungkin saya bisa istirahat, meskipun saat itu saya ambil penerbagangan pertama dari Bali ke Surabaya. Pikiran saya masih tidak tenang dan menebak-nebak, apa gerangan yang terjadi.

Dan saat sore itu pun tiba, Kakak saya mengajak ke RS dengan motornya. Hati saya berdebar-debar dan tidak tenang, sepanjang perjalanan hati saya pergi kemana-mana. Dan sampai di RS, kakak mengandeng tangan saya memasuki sebuah kamar di mana saya temukan Bunda saya terkulai di sana. Tubuh saya langsung lunglai dan berasa tak bertenaga, air mata saya jatuh begitu saja. Saat saya sentuh tangannya Bunda berusaha menjelaskan kalau dirinya baik-baik saja sembari terus mengajak bicara akan tetapi saya sudah tidak mampu mengatakan apa-apa.

Hari itu adalah hari ke-3 setelah Bunda saya dioperasi dan Bunda saya memaksa minta pulang karena 3 hari lagi saya menikah dan tidak bisa dilang “tidak” oleh dokter.

Bunda saya memang boleh pulang akan tetapi beliau masih tidak bisa melakukan apa-apa selain hanya terbaring di tempat tidur, saya menjaganya sepanjang hari sampai pada hari H pernikahan, sampai saya sendiri lupa kalau saya akan menikah!

Pada hari H pernikahan, mau tidak mau saya harus melaksanakannya meskipun saya sudah menangis minta dibatalkan, emosi saya tidak stabil akan tetapi Bunda meyakinkan kalau beliau baik-baik saja. Akhirnya saya tinggalkan Bunda di kamarnya dan menuju kamar saya untuk di make up. Lebih dari satu jam, proses make up baru selesai, saya langsung menuju kamar Bunda sebelum menuju tempat di mana akad nikah akan dilakukan. Saya sudah hampir menangis lagi, tapi Bunda buru-buru menghabus air mata saya “husssh….udah cantik, gak boleh nangis lagi! Ayo cepat kesana!” beliau mengusir saya agar cepat menuju tempat akad nikah.

Saya benar-benar merasakan kalau pernikahan saya tidak ada keceriaan, saya tidak bisa merasakan kebahagiaan seperti halnya pengantin lainnya. Dulu, dalam rencana akad nikah akan dilakukan di Masjid tapi karena Bunda sakit saya tidak bisa jauh-jauh darinya.

Alhamdulillah, akad nikah pun berjalan lancar meskipun di samping Papa tak ada Bunda. Setelah akad nikah selesai, saya langsung menuju kamar Bunda dan sungkem juga memeluknya. Bunda menciumi saya dan bilang “sudah….sekarang harusnya kamu bahagia” Begitu mudah Bunda mengatakan hal itu.

Dan prosesi pernikahan pun berjalan seperti halnya pernikahan Jawa lainnya, akan tetapi senyum yang saya sunggingkan dalam setiap gambar atau foto saya yakin tidak terlihat ikhlas. Karena hati saya diliputi kesedihan, saya hanya merasa tidak lengkap saja karena Bunda tidak ada bersama saya. Bahkan saat adek saya meng-upload beberapa foto ke social media ada yang komentar kalau mempelai wanita terlihat terpaksa.

485998_4446880896771_2054759485_n

Saya bersama suami, kakak dan adek saya dengan senyum yang berat 🙂

522646_4446875096626_497741839_n

Saya, suami, Papa dan nenek saya. Seharusnya Bunda yang berfoto dengan kami.

Ya, Allah saya merasa betapa luar biasa Bunda saya. Beliau memang benar-benar perempuan tangguh dan berhati seluas samudera dan dari kejadian ini pun saya lebih lebih menghargai beliau dari sebelumnya. Jangan sampai saya menyesal dan tidak melakukan apa-apa untuknya sampai nanti saat beliau tidak ada.

Hati-Ibu-Seluas-Samudera-300x295

Artikel  ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera

11 thoughts on “Bunda, tak menemaniku di hari pernikahan

Leave a reply to Lidya Cancel reply